RadarURL
Tampilkan postingan dengan label berita. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label berita. Tampilkan semua postingan

02 Desember 2007

Singkat, Jelas dan Konsisten

Minggu, 20 Agustus 2006
PRAKTISI pendidikan khusus, sekaligus Ketua Lembaga Pendidikan Khusus (LPK) Melati Ceria, Lilis Lismaya SPd mengatakan, ada beberapa metode yang digunakan untuk terapi anak autis. Diantaranya metode ABA (applied behavior analisys). Dalam penerapannya, metode ABA ini menggunakan konsep A (antecedent), B (behavior), C (consequence). Artinya, kata Lilis, harus ada instruksi, respon yang muncul setelah instruksi dan konsekuensi yang didapatkan anak setelah merespon instruksi.

Lilis mengatakan, instruksi yang diberikan kepada anak harus tegas, antusias dan konsisten. "Tegas dan antusias bukan berarti dengan bentakan," lanjut dia.

Menurut Lilis, terapi kepada penderita autis harus dilakukan dengan intensif dan hati-hati. "Kita harus menerapkan punish and reward. Reward-nya bisa dalam bentuk pujian, ciuman, pelukan atau memberi barang-barang yang disukainya

"Jangan sampai kita memberikan hadiah yang tak dia sukai," ucap Lilis yang menjadi salah satu pembicara dalam "Seminar Penanganan Autisme Secara Komprehensip" yang digelar atas kerjasama Kalteng Pos, PSG Simpatik dan TVRI Kalteng di Aula Palangka Universitas Palangka Raya (Unpar), Sabtu (19/8).

Lebih spesifik lagi, jelasnya, cara itu dilakukan dalam discrete trial training (DTT). Dalam pelaksanaan DTT, biasanya ucapan kepada anak autis harus singkat, jelas dan konsisten. Orangtua atau pengajar harus hemat kata dan gerakan serta menggunakan bahasa yang baik dan benar (misal, makan jangan diubah menjadi maem, Red). Suara yang dikeluarkan harus netral namun cukup keras, tegas dan bukan membentak.

Kita juga tak boleh mengulang ucapan tanpa konsekuensi. Misalnya, bila orangtua memanggil anaknya untuk mendatanginya. Bila sang anak datang, maka sebagai konsekuensinya orangtua tak boleh mengabaikan sang anak dengan berbicara kepada orang lain. Ia harus ngomong dengan si anak dan mengatakan maksudnya memanggil.

"Jangan sampai anak autis diabaikan bila dipanggil. Anak itu takkan mendapat pembelajaran jika diabaikan. Konsekuensi memanggil adalah untuk memberitahukan atau memberi sesuatu," kata Lilis.

Dalam discrimination training (DT), ungkapnya, anak autis diajarkan untuk belajar dari hal yang mudah lebih dahulu. "Jangan sampai respon anak setelah dipanggil tadi hanya karena kebiasaan dan bukan respon terhadap instruksi," tuturnya.

Lilis memberikan contoh pembelajaran dalam DT. Misalnya, anak autis belajar mengenali warna merah dan biru. Anak autis tak serta merta dapat mengerti warna secara bersamaan. Ia harus diajari satu persatu. Ada lima tahap pembelajaran untuk anak autis dalam mengenali warna merah dan biru.

Tahap pertama, orangtua atau pengajar mengatakan "pegang merah" sambil meletakkan kartu warna merah penuh bidang. Jika anak tak merespon dengan baik, ia diberikan bantuan (prompt). Prompt ini diberikan bila perlu saja dan instruksi ini dilakukan berulang-ulang sampai anak autis merespon dengan tepat.

Tahap kedua, ulangi tahap pertama dan letakkan dua kartu warna merah dan biru di atas meja. Ulangi kata "pegang merah" berkali-kali hingga anak merespon dan jangan lupa untuk selalu mengangkat kartu dari atas meja sebelum memulai siklus baru. Tahap ketiga, katakan "pegang biru" sambil meletakkan kartu warna biru penuh bidang. Seperti tahap pertama, lakukan berulang-ulang hingga anak mengerti.

Tahap keempat, ulangi tahap tiga seperti tahap kedua. Hanya saja, kali ini bilang "pegang biru". Tahap kelima, berikan instruksi secara random dengan mengucapkan

"pegang merah" dan "pegang biru".

Usai pemaparan makalah seminar, beberapa peserta mengajukan pertanyaan kepadanya. "Saat orangtua mengetahui anaknya mengalami gejala autisme, ia menjadi depresi. Bahkan ada yang marah kepada dirinya dan melupakan Tuhan. Bagaimana dengan orangtua yang seperti itu? Kemudian, bagaimana dengan anak yang kembali mengamuk saat pindah ke sekolah umum, padahal ia dinyatakan telah sembuh dari autis?" tanya Imanuel, mahasiswa STT Banjarmasin.

Terhadap pertanyaan ini, Lilis menjelaskan di LPK Melati Ceria anak yang belum mampu memahami ucapan orang lain, tak mampu berkomunikasi dan belum bisa menulis takkan dikeluarkan dari tempat pendidikan khusus tersebut. Anak autis, ungkapnya, harus sudah pada tahap kepatuhan, konsentrasi dan melaksanakan tugas sebelum menjalani pendidikan di sekolah umum.

"Jadi, di tempat kami ada kelas transisi untuk melihat kemampuan anak. Jika anak autis belum ke kelas transisi, jangan berharap ia masuk sekolah umum. Anak yang sebelumnya mengalami autisme dan masuk sekolah umum juga tetap kita pantau. Memang banyak orangtua yang shock saat mengetahui anaknya mengalami autisme. Kami memiliki tempat curhat (curahan hati, Red) sehingga orangtua tak depresi dan sampai melupakan Tuhan. Dengan curhat, beban orangtua berkurang," urainya. (ana)

sumber : KALTENGPOS